Author Archives: Biandra

https://tsuhanfx.com

Telur Ajaib dari Jepang: Yolk Putih, Rasa Manis, dan Aman Dikonsumsi Setengah Matang

Teknologi Jepang kembali membuktikan keunggulannya dengan menciptakan inovasi kuliner yang unik, yaitu telur ayam dengan bagian kuning telur atau yolk berwarna putih. Telur yang dinamakan shirotama atau rice egg ini dikembangkan oleh para peternak di Itoman, Okinawa. Keunikan warnanya bukan berasal dari rekayasa genetik, melainkan dari pakan khusus yang tidak mengandung pigmen, sehingga menghasilkan yolk putih alih-alih kuning seperti biasanya.

Di peternakan Takeuchi, ayam-ayam diberi pakan alami yang kaya nutrisi namun bebas pigmen. Komposisinya terdiri dari 68 persen beras lokal Hokkaido, 15 persen ikan segar dari perairan Hokkaido, 8,8 persen dedak padi mentah, 8 persen cangkang kerang dari Danau Saroma, serta 0,2 persen garam, vitamin, dan berbagai bakteri bermanfaat seperti bakteri asam laktat. Dengan diet ini, ayam-ayam menghasilkan telur dengan warna dan rasa yang unik namun tetap bergizi tinggi.

Menariknya, meskipun memiliki tampilan berbeda, kandungan gizi dari telur shirotama ini sama dengan telur biasa. Bahkan, telur ini dinyatakan bebas salmonella sehingga aman dikonsumsi dalam kondisi setengah matang. Rasanya pun lebih manis dan tidak berbau amis, menjadikannya sangat cocok untuk menu seperti omurice yang membutuhkan tekstur lembut dan rasa ringan.

Di Tokyo, tepatnya di restoran Kisaburo Nojo, pengunjung bisa menikmati berbagai jenis telur unik lainnya seperti yokake egg, araukka egg, yuzu egg, dan orange egg. Setiap jenis memiliki cita rasa khas tersendiri yang membuat pengalaman menyantap telur menjadi sesuatu yang istimewa. Jika Anda pencinta kuliner unik, telur shirotama jelas patut dicoba!

Sisi Tersembunyi Jepang: Antara Gemerlap Teknologi dan Bayang-Bayang Wisata Seks

Jepang kerap dipandang dunia sebagai negeri yang penuh inovasi teknologi dan budaya yang kaya. Namun, di balik citra tersebut, terdapat sisi gelap yang jarang disorot, yakni industri wisata seks yang kian berkembang. Salah satu kawasan yang menjadi perhatian adalah Taman Okubo di Tokyo, yang lokasinya tidak jauh dari kawasan hiburan Kabukicho. Fenomena ini menarik perhatian wisatawan dari Korea Selatan, Tiongkok, Taiwan, hingga negara-negara di Amerika Utara dan Eropa.

Dalam praktiknya, kecanggihan teknologi justru mempermudah interaksi antara pekerja seks dan turis asing. Aplikasi penerjemah di ponsel menjadi alat utama untuk melakukan negosiasi singkat. Menurut Ria, seorang pekerja seks, turis asing menjadi target utama karena mereka cenderung tidak banyak menawar, bahkan sering memberikan bayaran lebih dibandingkan warga lokal, yang saat ini tengah mengalami penurunan daya beli.

Di sisi lain, pelayanan kepada turis juga dianggap lebih aman karena mengurangi risiko berurusan dengan aparat berpakaian preman. Tarif layanan pun bervariasi, mulai dari 15 ribu yen hingga 30 ribu yen, atau sekitar Rp1,8 juta hingga Rp3,6 juta. Azu, pekerja seks berusia 19 tahun, mengaku bisa memperoleh 20 ribu yen hanya dalam waktu satu jam dengan syarat tertentu.

Sayangnya, banyak dari mereka beroperasi secara mandiri tanpa perlindungan, membuat mereka rentan terhadap kekerasan dan risiko tidak dibayar. Organisasi Rescue Hub berusaha memberikan jalan keluar dengan menawarkan tempat aman untuk para pekerja yang ingin meninggalkan dunia tersebut. Arata Sakamoto dari Rescue Hub menyebut, pandemi COVID-19 membuat banyak perempuan yang kehilangan pekerjaan terpaksa masuk dalam industri ini. Sayangnya, hingga kini hukum di Jepang lebih menekan pekerja seks daripada pelanggan mereka.

China Imbau Warganya di Jepang Tetap Waspada Risiko Gempa Besar

Pemerintah China baru-baru ini mengeluarkan peringatan kepada warganya yang berada di Jepang untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap potensi gempa bumi besar. Menurut laporan Global Times, Kedutaan Besar China di Jepang merilis pemberitahuan ini pada Senin, menyusul laporan pemerintah Jepang yang mengungkapkan potensi gempa besar di Palung Nankai. Penilaian terbaru yang dirilis pada 31 Maret menyebutkan bahwa kemungkinan gempa besar dalam 30 tahun ke depan meningkat dari 70% menjadi 80%, dengan perkiraan korban jiwa mencapai 298.000 orang serta kerugian ekonomi sekitar US$1,8 triliun.

Kedutaan China menekankan pentingnya warga untuk mengikuti perkembangan informasi terkait gempa, merencanakan perjalanan, studi, atau pembelian properti dengan mempertimbangkan faktor risiko. Selain itu, mereka juga mengimbau agar warga mengidentifikasi lokasi evakuasi terdekat dan mengikuti arahan evakuasi dari pemerintah setempat tanpa menunda. Hingga berita ini diturunkan, belum ada tanggapan resmi dari pemerintah Jepang mengenai peringatan ini.

Sebagai informasi tambahan, gempa besar terakhir di Palung Nankai terjadi pada tahun 1946, dan wilayah Jepang yang termasuk dalam “Cincin Api” memang kerap dilanda gempa besar. Gempa besar Jepang yang paling mematikan tercatat pada 11 Maret 2011 dengan magnitudo 9,0, yang memicu tsunami dahsyat dan bencana nuklir, menyebabkan hampir 20 ribu korban jiwa. Dalam 24 jam terakhir saja, tercatat enam gempa bermagnitudo di atas 2,5, menunjukkan betapa aktifnya aktivitas seismik di wilayah tersebut.

Jejak Elegan Geisha: Simbol Seni dan Kekuatan Tersembunyi Jepang

Selama berabad-abad, Geisha telah menjadi bagian penting dari budaya Jepang, dipenuhi keanggunan dan misteri. Sering disalahpahami di dunia Barat, Geisha sejatinya adalah penghibur profesional yang terampil dalam berbagai seni tradisional, bukan pekerja seks. Dengan kecantikan dan bakat mereka, para Geisha telah lama menjadi lambang kemewahan budaya Jepang, memikat banyak orang lewat tarian, musik, serta percakapan yang menawan. Sejarah Geisha bermula dari abad ke-18, di mana mereka dilatih sejak usia muda dalam seni seperti musik, tarian, dan upacara minum teh, melalui masa pelatihan ketat di rumah khusus yang disebut okiya.

Untuk menjadi Geisha sejati, seorang gadis harus melalui tahapan shikomi dan magang minarai sebelum akhirnya tampil sendiri. Dalam perjalanan tersebut, Geisha diajarkan untuk selalu menjaga tata krama, sopan santun, dan kehalusan perilaku. Penampilan mereka yang ikonik—kimono furisode berlengan panjang, riasan putih mencolok, serta hiasan rambut tradisional—mempertegas citra mereka sebagai seniman sejati. Tak hanya menghibur, Geisha juga berperan sebagai jaringan sosial bagi para elite, bahkan membantu mempererat hubungan bisnis penting.

Seiring berjalannya waktu, jumlah Geisha menurun drastis. Kini, hanya ratusan yang tersisa, terutama di distrik Gion, Kyoto. Meski dunia telah berubah, Geisha modern tetap menjaga warisan leluhur, menyesuaikan diri dengan tuntutan zaman, dan membuka pintu bagi wisatawan untuk merasakan budaya tradisional Jepang. Dalam elegansi dan kesederhanaan mereka, Geisha terus menjadi simbol kekuatan tersembunyi dan keabadian seni Jepang.

Mitos Jepang dan Pengaruhnya terhadap Identitas Nasional

Cerita rakyat Jepang telah memberikan warisan abadi pada perkembangan nasionalisme Kekaisaran Jepang serta membentuk identitas budaya yang sangat kuat. Legenda dan mitos yang diwariskan turun-temurun, bersama dengan tradisi lokal, membentuk rasa kebanggaan, kesetiaan, dan persatuan di kalangan masyarakat Jepang. Dua teks penting, Kojiki dan Nihongi, merupakan karya monumental yang menggabungkan mitos-mitos untuk memperkuat legitimasi kekaisaran dan menyatukan bangsa. Mitos-mitos tersebut menciptakan narasi yang koheren, bertujuan untuk melegitimasi kekuasaan dan memperkenalkan nilai-nilai Shinto yang mendalam.

Di akhir abad ke-19, Jepang mengalami transformasi sosial besar seiring dengan modernisasi negara, salah satunya melalui pendidikan. Naskah Kekaisaran tentang Pendidikan yang diterbitkan pada 1890 menekankan pentingnya pendidikan untuk membentuk patriotisme dan moralitas pada generasi muda. Buku-buku pendidikan dasar saat itu, termasuk kisah terkenal seperti “Momotaro”, digunakan untuk menanamkan semangat nasionalisme. Kisah tentang Momotaro, yang menggambarkan keberanian melawan musuh asing, sangat sesuai dengan semangat identitas nasional Jepang yang saat itu tengah berkembang.

Kisah-kisah seperti ini mengajarkan nilai keberanian, kesetiaan, dan pengorbanan demi kebaikan bersama, yang erat kaitannya dengan ajaran Shinto dan simbol-simbol kekaisaran. Melalui cerita-cerita ini, Jepang diperkenalkan pada konsep kesatuan bangsa yang tak terpisahkan, dengan mitos-mitos yang memperkuat ideologi nasionalisme. Pengaruh dari nilai-nilai yang terkandung dalam mitos seperti ini membantu memperkuat kesadaran identitas nasional, terlebih selama masa-masa perang dan kesulitan ekonomi yang terjadi kemudian.

Kucing Pemanggil Keberuntungan: Legenda di Balik Maneki-Neko

Maneki-neko, patung kucing dengan cakar terangkat yang melambai, telah lama menjadi simbol keberuntungan, sering terlihat di depan toko atau restoran di Jepang. Meskipun sering dianggap melambai, patung ini sebenarnya tidak melakukannya. Dalam tradisi Jepang, memberi isyarat berarti dengan telapak tangan menghadap ke depan. Keberuntungan yang dibawa oleh maneki-neko bermula dari legenda kucing bernama Tama yang berasal dari kuil Gōtoku-ji di Tokyo pada masa Edo. Kucing ini dikatakan telah menyelamatkan hidup seorang daimyo, Ii Naotaka, dengan memanggilnya menuju tempat perlindungan saat kilat menyambar. Sebagai tanda terima kasih, Daimyo tersebut mengangkatnya sebagai pelindung kuil, dan sejak itu, maneki-neko menjadi simbol keberuntungan.

Selain itu, terdapat juga kisah di Kuil Imado, di Asakusa, Tokyo. Seorang wanita tua yang miskin membuat patung kucing berdasarkan mimpi kucing peliharaannya, yang mengatakan bahwa patung tersebut akan membawa keberuntungan. Patung-patung tersebut kemudian dijual dan membawa keberuntungan bagi wanita itu. Kucing juga memiliki makna lebih dalam bagi orang Jepang. Mereka dianggap sebagai penjaga yang membawa keberuntungan dan kemakmuran jika dipelihara dengan baik. Bahkan, mitos mengatakan bahwa jika seseorang membunuh kucing, mereka akan dihantui selama tujuh generasi.

Patung ini tidak hanya ditemukan di Jepang, tetapi juga telah menyebar ke berbagai negara di Asia dan dunia. Pada zaman Meiji, patung maneki-neko mulai digunakan sebagai pengganti jimat tradisional yang dilarang oleh pemerintah. Kini, maneki-neko tidak hanya ada dalam bentuk patung, tetapi juga dalam berbagai karakter multimedia yang muncul dalam seni, mode, dan permainan video. Di Jepang, patung ini bisa ditemukan di toko-toko dan kuil-kuil, serta di festival yang diadakan setiap tahun. Di luar Jepang, ada Museum Kucing Keberuntungan di Ohio, Amerika Serikat, yang menampilkan ribuan koleksi maneki-neko. Bagi banyak orang, maneki-neko tetap menjadi simbol harapan dan keberuntungan, baik di Jepang maupun di dunia.

Rahasia Umur Panjang di Ogimi: Pelajaran dari Desa di Okinawa

Di Desa Ogimi, yang terletak di utara pulau utama Okinawa, terdapat sebuah batu penanda yang berisi kalimat bijak dalam bahasa Jepang. Diterjemahkan, kalimat tersebut menyarankan bahwa pada usia 80, seseorang masih muda, dan pada usia 90, jika leluhur mengundang untuk datang ke surga, sebaiknya menunggu hingga usia 100 tahun sebelum mempertimbangkannya. Hal ini mencerminkan pola hidup yang luar biasa di Ogimi, yang memiliki banyak penduduk berusia seratus tahun. Bahkan, pada sensus terakhir, 15 dari 3.000 penduduknya tercatat berusia lebih dari seratus tahun, dengan 171 lainnya berusia 90-an.

Sebelum pandemi COVID-19, desa ini mulai menarik perhatian wisatawan yang penasaran dengan rahasia umur panjang penduduknya. Ogimi adalah bagian dari Okinawa, yang dikenal sebagai “zona biru,” sebuah wilayah yang ditemukan oleh penjelajah National Geographic, Dan Buettner, yang menyebutkan bahwa orang-orang di sini hidup lebih lama dan lebih bahagia. Beberapa faktor utama yang mempengaruhi umur panjang di Okinawa adalah pola makan, gaya hidup sosial, dan faktor genetika.

Pola makan masyarakat Okinawa terkenal kaya akan sayuran dan buah-buahan, serta mengonsumsi lebih banyak ikan dibandingkan daging. Mereka juga mengutamakan pembatasan kalori, yang dianggap membantu memperpanjang usia. Selain itu, masyarakat Okinawa sangat menekankan pentingnya hubungan sosial melalui kegiatan seperti moai, kelompok sosial yang mendukung kesejahteraan mental. Bahkan selama pandemi, mereka tetap menjaga kebersamaan dan menyesuaikan cara bertemu dengan teknologi, seperti pertemuan daring.

Ohitorisama: Tren Menikmati Kesendirian ala Jepang yang Kian Populer

Di Indonesia, melakukan kegiatan seorang diri di ruang publik masih sering dianggap aneh atau bahkan memunculkan rasa iba dari orang lain. Namun, di Jepang, hal ini justru menjadi bagian dari budaya modern yang dikenal dengan istilah ohitorisama. Secara harfiah berarti “pesta satu orang”, konsep ini merayakan kesenangan dalam menjalani berbagai aktivitas tanpa perlu kehadiran orang lain.

Awal mula tren ini bisa ditelusuri dari fenomena benjo meshi, di mana sejumlah pelajar dan pekerja memilih makan sendirian di toilet karena merasa tidak nyaman bergabung dengan kelompok sosial saat waktu istirahat. Seiring waktu, kebiasaan ini meluas ke ruang publik, mendorong munculnya berbagai layanan khusus individu, seperti restoran hitori yakiniku yang memungkinkan pelanggan memanggang daging sendirian tanpa rasa canggung berkat adanya sekat antar meja.

Tak hanya restoran, berbagai hotel di Jepang juga menawarkan fasilitas khusus untuk tamu solo, seperti hotel kapsul yang menghadirkan kenyamanan dan privasi. Bahkan, tren ini merambah ke dunia karaoke, yang dulunya identik dengan kegiatan bersama. Kini, banyak tempat karaoke menyediakan ruang pribadi bagi satu orang karena permintaannya terus meningkat.

Fenomena ini mencerminkan tingginya tingkat individualisme masyarakat Jepang. Namun, ohitorisama tidak dilihat sebagai bentuk isolasi, melainkan sebagai cara untuk mengeksplorasi diri dan menikmati hidup tanpa tekanan sosial. Dalam dunia yang semakin bising oleh media sosial, banyak orang Jepang merasa bahwa kesendirian justru memberi ketenangan dan kualitas hidup yang lebih baik.

Duka di Tengah Wabah: Kepergian Barbie Hsu Guncang Wisatawan dan Jepang yang Dilanda Flu Terparah

Kematian aktris kenamaan Barbie Hsu akibat pneumonia yang dipicu oleh influenza saat berlibur di Jepang telah memicu kekhawatiran besar di kalangan pelancong. Meski jumlah wisatawan dari Tiongkok tidak mengalami perubahan drastis, perbincangan seputar risiko kesehatan dan pentingnya asuransi perjalanan mulai meningkat. Di tengah duka, topik tentang wabah flu di Jepang mendadak ramai diperbincangkan di platform media sosial, terutama setelah kabar meninggalnya Hsu pada 2 Februari 2025, ketika ia tengah menikmati liburan Imlek bersama keluarganya.

Para ahli kesehatan dari Thailand dan Hong Kong mulai memberikan peringatan kepada warganya agar mempertimbangkan ulang rencana perjalanan mereka ke Jepang. Jepang sendiri tengah menghadapi wabah flu terburuk dalam dua dekade terakhir, dengan lebih dari sembilan juta kasus tercatat sejak September 2024. Beberapa dokter bahkan menyarankan membawa obat antivirus seperti Oseltamivir atau Favipiravir bagi yang tetap nekat bepergian. Sementara itu, rumah sakit di Tokyo dan Osaka kewalahan, dan sejumlah distrik menunjukkan lonjakan kasus signifikan, terutama akibat virus influenza Tipe B.

Di sisi lain, lokasi syuting serial legendaris Meteor Garden yang diperankan Hsu kembali dipadati pengunjung. Para penggemar mengunjungi Universitas Nasional Chung Cheng di Taiwan sebagai bentuk penghormatan terakhir. Foto dan video kenangan dibagikan, mengiringi kepergian Hsu yang dikenal sebagai pemeran San Chai. Meski tur ke lokasi tersebut tetap tersedia melalui platform perjalanan, keluarga Hsu memilih untuk tidak menggelar pemakaman, menghormati permintaan pribadi sang aktris agar kepergiannya tetap tenang dan sederhana.