Tag Archives: Budaya Jepang

https://tsuhanfx.com

Jejak Elegan Geisha: Simbol Seni dan Kekuatan Tersembunyi Jepang

Selama berabad-abad, Geisha telah menjadi bagian penting dari budaya Jepang, dipenuhi keanggunan dan misteri. Sering disalahpahami di dunia Barat, Geisha sejatinya adalah penghibur profesional yang terampil dalam berbagai seni tradisional, bukan pekerja seks. Dengan kecantikan dan bakat mereka, para Geisha telah lama menjadi lambang kemewahan budaya Jepang, memikat banyak orang lewat tarian, musik, serta percakapan yang menawan. Sejarah Geisha bermula dari abad ke-18, di mana mereka dilatih sejak usia muda dalam seni seperti musik, tarian, dan upacara minum teh, melalui masa pelatihan ketat di rumah khusus yang disebut okiya.

Untuk menjadi Geisha sejati, seorang gadis harus melalui tahapan shikomi dan magang minarai sebelum akhirnya tampil sendiri. Dalam perjalanan tersebut, Geisha diajarkan untuk selalu menjaga tata krama, sopan santun, dan kehalusan perilaku. Penampilan mereka yang ikonik—kimono furisode berlengan panjang, riasan putih mencolok, serta hiasan rambut tradisional—mempertegas citra mereka sebagai seniman sejati. Tak hanya menghibur, Geisha juga berperan sebagai jaringan sosial bagi para elite, bahkan membantu mempererat hubungan bisnis penting.

Seiring berjalannya waktu, jumlah Geisha menurun drastis. Kini, hanya ratusan yang tersisa, terutama di distrik Gion, Kyoto. Meski dunia telah berubah, Geisha modern tetap menjaga warisan leluhur, menyesuaikan diri dengan tuntutan zaman, dan membuka pintu bagi wisatawan untuk merasakan budaya tradisional Jepang. Dalam elegansi dan kesederhanaan mereka, Geisha terus menjadi simbol kekuatan tersembunyi dan keabadian seni Jepang.

Kucing Pemanggil Keberuntungan: Legenda di Balik Maneki-Neko

Maneki-neko, patung kucing dengan cakar terangkat yang melambai, telah lama menjadi simbol keberuntungan, sering terlihat di depan toko atau restoran di Jepang. Meskipun sering dianggap melambai, patung ini sebenarnya tidak melakukannya. Dalam tradisi Jepang, memberi isyarat berarti dengan telapak tangan menghadap ke depan. Keberuntungan yang dibawa oleh maneki-neko bermula dari legenda kucing bernama Tama yang berasal dari kuil Gōtoku-ji di Tokyo pada masa Edo. Kucing ini dikatakan telah menyelamatkan hidup seorang daimyo, Ii Naotaka, dengan memanggilnya menuju tempat perlindungan saat kilat menyambar. Sebagai tanda terima kasih, Daimyo tersebut mengangkatnya sebagai pelindung kuil, dan sejak itu, maneki-neko menjadi simbol keberuntungan.

Selain itu, terdapat juga kisah di Kuil Imado, di Asakusa, Tokyo. Seorang wanita tua yang miskin membuat patung kucing berdasarkan mimpi kucing peliharaannya, yang mengatakan bahwa patung tersebut akan membawa keberuntungan. Patung-patung tersebut kemudian dijual dan membawa keberuntungan bagi wanita itu. Kucing juga memiliki makna lebih dalam bagi orang Jepang. Mereka dianggap sebagai penjaga yang membawa keberuntungan dan kemakmuran jika dipelihara dengan baik. Bahkan, mitos mengatakan bahwa jika seseorang membunuh kucing, mereka akan dihantui selama tujuh generasi.

Patung ini tidak hanya ditemukan di Jepang, tetapi juga telah menyebar ke berbagai negara di Asia dan dunia. Pada zaman Meiji, patung maneki-neko mulai digunakan sebagai pengganti jimat tradisional yang dilarang oleh pemerintah. Kini, maneki-neko tidak hanya ada dalam bentuk patung, tetapi juga dalam berbagai karakter multimedia yang muncul dalam seni, mode, dan permainan video. Di Jepang, patung ini bisa ditemukan di toko-toko dan kuil-kuil, serta di festival yang diadakan setiap tahun. Di luar Jepang, ada Museum Kucing Keberuntungan di Ohio, Amerika Serikat, yang menampilkan ribuan koleksi maneki-neko. Bagi banyak orang, maneki-neko tetap menjadi simbol harapan dan keberuntungan, baik di Jepang maupun di dunia.

Sapporo Summer Festival: Musim Panas Penuh Warna di Utara Jepang

Musim panas di Jepang tak hanya ditandai oleh suhu yang mencapai lebih dari 30 derajat Celsius, tapi juga oleh hadirnya berbagai festival penuh keceriaan. Salah satu perayaan yang paling dinantikan adalah Sapporo Summer Festival, yang setiap tahunnya menghidupkan suasana Kota Sapporo di Hokkaido. Festival ini menjadi daya tarik istimewa karena mematahkan citra Hokkaido sebagai wilayah bersalju, menghadirkan kemeriahan warna, musik, dan semangat masyarakat dalam suasana musim panas. Festival tahunan ini telah digelar sejak tahun 1954 dan akan kembali hadir pada 18 Juli hingga 16 Agustus 2025.

Sapporo Summer Festival berlangsung selama satu bulan penuh dan menghadirkan beragam acara menarik di berbagai titik kota. Di Odori Park, pengunjung dapat menikmati beer garden raksasa yang menyajikan bir dari berbagai merek ternama seperti Kirin dan Sapporo, serta bir internasional. Sambil mencicipi aneka hidangan, suasana taman pun semakin hidup dengan tawa dan musik yang meriah. Tak hanya itu, pertunjukan tradisional Bon Odori juga digelar di lokasi yang sama, mengajak pengunjung untuk ikut menari bersama dalam balutan yukata musim panas, meski jadwal pastinya baru akan diumumkan pada bulan Mei.

Selain itu, Tanuki Festival yang berlangsung di Tanukikoji Shopping Street akan menyemarakkan pusat perbelanjaan legendaris ini dengan dekorasi, penampilan budaya, dan penawaran menarik. Digelar pada tanggal 18 Juli hingga 16 Agustus 2025, festival ini sudah mencapai gelaran ke-72. Tidak ketinggalan, kawasan Susukino pun turut meriah dengan Susukino Festival dan parade Oiran Dochu yang menjadi ciri khasnya. Bagi siapa pun yang ingin menikmati hangatnya musim panas di Jepang, Sapporo Summer Festival menawarkan pengalaman yang tak terlupakan.

Ohitorisama: Tren Menikmati Kesendirian ala Jepang yang Kian Populer

Di Indonesia, melakukan kegiatan seorang diri di ruang publik masih sering dianggap aneh atau bahkan memunculkan rasa iba dari orang lain. Namun, di Jepang, hal ini justru menjadi bagian dari budaya modern yang dikenal dengan istilah ohitorisama. Secara harfiah berarti “pesta satu orang”, konsep ini merayakan kesenangan dalam menjalani berbagai aktivitas tanpa perlu kehadiran orang lain.

Awal mula tren ini bisa ditelusuri dari fenomena benjo meshi, di mana sejumlah pelajar dan pekerja memilih makan sendirian di toilet karena merasa tidak nyaman bergabung dengan kelompok sosial saat waktu istirahat. Seiring waktu, kebiasaan ini meluas ke ruang publik, mendorong munculnya berbagai layanan khusus individu, seperti restoran hitori yakiniku yang memungkinkan pelanggan memanggang daging sendirian tanpa rasa canggung berkat adanya sekat antar meja.

Tak hanya restoran, berbagai hotel di Jepang juga menawarkan fasilitas khusus untuk tamu solo, seperti hotel kapsul yang menghadirkan kenyamanan dan privasi. Bahkan, tren ini merambah ke dunia karaoke, yang dulunya identik dengan kegiatan bersama. Kini, banyak tempat karaoke menyediakan ruang pribadi bagi satu orang karena permintaannya terus meningkat.

Fenomena ini mencerminkan tingginya tingkat individualisme masyarakat Jepang. Namun, ohitorisama tidak dilihat sebagai bentuk isolasi, melainkan sebagai cara untuk mengeksplorasi diri dan menikmati hidup tanpa tekanan sosial. Dalam dunia yang semakin bising oleh media sosial, banyak orang Jepang merasa bahwa kesendirian justru memberi ketenangan dan kualitas hidup yang lebih baik.