Category Archives: Berita Lifestyle Jepang

https://tsuhanfx.com

Pemandangan Mode Tokyo yang Berkembang: Perpaduan Antara Tradisi dan Inovasi

Jepang telah lama dikenal sebagai tempat yang sangat maju dalam hal mode, dengan campuran gaya jalanan yang berani dan loyalitas kuat terhadap merek mewah. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, lanskap mode telah berkembang, dengan generasi muda yang beralih dari logo dan tren yang mencolok. Tokyo Fashion Week telah menjadi platform bagi desainer-desainer baru untuk bersinar, meskipun banyak merek Jepang yang paling sukses masih lebih memilih untuk memamerkan koleksi mereka di Paris. Dunia mode di Jepang kini lebih kompleks, dengan generasi muda yang memilih perpaduan antara keindividualan, berbelanja barang bekas, dan kesederhanaan. Toko barang bekas semakin populer, memungkinkan konsumen menemukan barang berkualitas dengan harga terjangkau, mengurangi kebutuhan akan fast fashion. Selain itu, mode Jepang kini mengutamakan pendekatan yang lebih pribadi, dengan penekanan pada pemahaman bentuk tubuh dan pemilihan warna berdasarkan rona kulit seseorang.

Berbeda dengan mentalitas tren yang sering terlihat di Barat, budaya mode Tokyo telah lama mengadopsi kemewahan yang tenang dan keberlanjutan. Desainer lokal seperti Auralee dan Stein memimpin jalan dengan desain yang sederhana dan berkualitas tinggi yang mencerminkan permintaan yang berkembang untuk keterampilan dan keaslian. Fokus pada kualitas di atas kuantitas ini tertanam dalam DNA budaya Jepang, di mana konsep “mottainai” — tidak membuang atau menyia-nyiakan barang — sangat relevan dengan pilihan mode. Generasi muda kini beralih dari tampilan kekayaan yang mencolok, memilih barang yang sesuai dengan gaya pribadi mereka daripada mengejar tren yang cepat berlalu. Perubahan ini juga terlihat di Tokyo Fashion Week, di mana tidak adanya budaya influencer memungkinkan fokus tetap pada pakaian itu sendiri, menyoroti visi kreatif desainer daripada dukungan selebriti. Meskipun ada tantangan seperti penurunan ekonomi pasca-Covid, dunia mode Tokyo terus berkembang, menawarkan keseimbangan unik antara tradisi dan inovasi.

Sisi Tersembunyi Jepang: Antara Gemerlap Teknologi dan Bayang-Bayang Wisata Seks

Jepang kerap dipandang dunia sebagai negeri yang penuh inovasi teknologi dan budaya yang kaya. Namun, di balik citra tersebut, terdapat sisi gelap yang jarang disorot, yakni industri wisata seks yang kian berkembang. Salah satu kawasan yang menjadi perhatian adalah Taman Okubo di Tokyo, yang lokasinya tidak jauh dari kawasan hiburan Kabukicho. Fenomena ini menarik perhatian wisatawan dari Korea Selatan, Tiongkok, Taiwan, hingga negara-negara di Amerika Utara dan Eropa.

Dalam praktiknya, kecanggihan teknologi justru mempermudah interaksi antara pekerja seks dan turis asing. Aplikasi penerjemah di ponsel menjadi alat utama untuk melakukan negosiasi singkat. Menurut Ria, seorang pekerja seks, turis asing menjadi target utama karena mereka cenderung tidak banyak menawar, bahkan sering memberikan bayaran lebih dibandingkan warga lokal, yang saat ini tengah mengalami penurunan daya beli.

Di sisi lain, pelayanan kepada turis juga dianggap lebih aman karena mengurangi risiko berurusan dengan aparat berpakaian preman. Tarif layanan pun bervariasi, mulai dari 15 ribu yen hingga 30 ribu yen, atau sekitar Rp1,8 juta hingga Rp3,6 juta. Azu, pekerja seks berusia 19 tahun, mengaku bisa memperoleh 20 ribu yen hanya dalam waktu satu jam dengan syarat tertentu.

Sayangnya, banyak dari mereka beroperasi secara mandiri tanpa perlindungan, membuat mereka rentan terhadap kekerasan dan risiko tidak dibayar. Organisasi Rescue Hub berusaha memberikan jalan keluar dengan menawarkan tempat aman untuk para pekerja yang ingin meninggalkan dunia tersebut. Arata Sakamoto dari Rescue Hub menyebut, pandemi COVID-19 membuat banyak perempuan yang kehilangan pekerjaan terpaksa masuk dalam industri ini. Sayangnya, hingga kini hukum di Jepang lebih menekan pekerja seks daripada pelanggan mereka.

Jejak Elegan Geisha: Simbol Seni dan Kekuatan Tersembunyi Jepang

Selama berabad-abad, Geisha telah menjadi bagian penting dari budaya Jepang, dipenuhi keanggunan dan misteri. Sering disalahpahami di dunia Barat, Geisha sejatinya adalah penghibur profesional yang terampil dalam berbagai seni tradisional, bukan pekerja seks. Dengan kecantikan dan bakat mereka, para Geisha telah lama menjadi lambang kemewahan budaya Jepang, memikat banyak orang lewat tarian, musik, serta percakapan yang menawan. Sejarah Geisha bermula dari abad ke-18, di mana mereka dilatih sejak usia muda dalam seni seperti musik, tarian, dan upacara minum teh, melalui masa pelatihan ketat di rumah khusus yang disebut okiya.

Untuk menjadi Geisha sejati, seorang gadis harus melalui tahapan shikomi dan magang minarai sebelum akhirnya tampil sendiri. Dalam perjalanan tersebut, Geisha diajarkan untuk selalu menjaga tata krama, sopan santun, dan kehalusan perilaku. Penampilan mereka yang ikonik—kimono furisode berlengan panjang, riasan putih mencolok, serta hiasan rambut tradisional—mempertegas citra mereka sebagai seniman sejati. Tak hanya menghibur, Geisha juga berperan sebagai jaringan sosial bagi para elite, bahkan membantu mempererat hubungan bisnis penting.

Seiring berjalannya waktu, jumlah Geisha menurun drastis. Kini, hanya ratusan yang tersisa, terutama di distrik Gion, Kyoto. Meski dunia telah berubah, Geisha modern tetap menjaga warisan leluhur, menyesuaikan diri dengan tuntutan zaman, dan membuka pintu bagi wisatawan untuk merasakan budaya tradisional Jepang. Dalam elegansi dan kesederhanaan mereka, Geisha terus menjadi simbol kekuatan tersembunyi dan keabadian seni Jepang.

Rahasia Umur Panjang di Ogimi: Pelajaran dari Desa di Okinawa

Di Desa Ogimi, yang terletak di utara pulau utama Okinawa, terdapat sebuah batu penanda yang berisi kalimat bijak dalam bahasa Jepang. Diterjemahkan, kalimat tersebut menyarankan bahwa pada usia 80, seseorang masih muda, dan pada usia 90, jika leluhur mengundang untuk datang ke surga, sebaiknya menunggu hingga usia 100 tahun sebelum mempertimbangkannya. Hal ini mencerminkan pola hidup yang luar biasa di Ogimi, yang memiliki banyak penduduk berusia seratus tahun. Bahkan, pada sensus terakhir, 15 dari 3.000 penduduknya tercatat berusia lebih dari seratus tahun, dengan 171 lainnya berusia 90-an.

Sebelum pandemi COVID-19, desa ini mulai menarik perhatian wisatawan yang penasaran dengan rahasia umur panjang penduduknya. Ogimi adalah bagian dari Okinawa, yang dikenal sebagai “zona biru,” sebuah wilayah yang ditemukan oleh penjelajah National Geographic, Dan Buettner, yang menyebutkan bahwa orang-orang di sini hidup lebih lama dan lebih bahagia. Beberapa faktor utama yang mempengaruhi umur panjang di Okinawa adalah pola makan, gaya hidup sosial, dan faktor genetika.

Pola makan masyarakat Okinawa terkenal kaya akan sayuran dan buah-buahan, serta mengonsumsi lebih banyak ikan dibandingkan daging. Mereka juga mengutamakan pembatasan kalori, yang dianggap membantu memperpanjang usia. Selain itu, masyarakat Okinawa sangat menekankan pentingnya hubungan sosial melalui kegiatan seperti moai, kelompok sosial yang mendukung kesejahteraan mental. Bahkan selama pandemi, mereka tetap menjaga kebersamaan dan menyesuaikan cara bertemu dengan teknologi, seperti pertemuan daring.

Ohitorisama: Tren Menikmati Kesendirian ala Jepang yang Kian Populer

Di Indonesia, melakukan kegiatan seorang diri di ruang publik masih sering dianggap aneh atau bahkan memunculkan rasa iba dari orang lain. Namun, di Jepang, hal ini justru menjadi bagian dari budaya modern yang dikenal dengan istilah ohitorisama. Secara harfiah berarti “pesta satu orang”, konsep ini merayakan kesenangan dalam menjalani berbagai aktivitas tanpa perlu kehadiran orang lain.

Awal mula tren ini bisa ditelusuri dari fenomena benjo meshi, di mana sejumlah pelajar dan pekerja memilih makan sendirian di toilet karena merasa tidak nyaman bergabung dengan kelompok sosial saat waktu istirahat. Seiring waktu, kebiasaan ini meluas ke ruang publik, mendorong munculnya berbagai layanan khusus individu, seperti restoran hitori yakiniku yang memungkinkan pelanggan memanggang daging sendirian tanpa rasa canggung berkat adanya sekat antar meja.

Tak hanya restoran, berbagai hotel di Jepang juga menawarkan fasilitas khusus untuk tamu solo, seperti hotel kapsul yang menghadirkan kenyamanan dan privasi. Bahkan, tren ini merambah ke dunia karaoke, yang dulunya identik dengan kegiatan bersama. Kini, banyak tempat karaoke menyediakan ruang pribadi bagi satu orang karena permintaannya terus meningkat.

Fenomena ini mencerminkan tingginya tingkat individualisme masyarakat Jepang. Namun, ohitorisama tidak dilihat sebagai bentuk isolasi, melainkan sebagai cara untuk mengeksplorasi diri dan menikmati hidup tanpa tekanan sosial. Dalam dunia yang semakin bising oleh media sosial, banyak orang Jepang merasa bahwa kesendirian justru memberi ketenangan dan kualitas hidup yang lebih baik.