Jepang telah lama dikenal sebagai tempat yang sangat maju dalam hal mode, dengan campuran gaya jalanan yang berani dan loyalitas kuat terhadap merek mewah. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, lanskap mode telah berkembang, dengan generasi muda yang beralih dari logo dan tren yang mencolok. Tokyo Fashion Week telah menjadi platform bagi desainer-desainer baru untuk bersinar, meskipun banyak merek Jepang yang paling sukses masih lebih memilih untuk memamerkan koleksi mereka di Paris. Dunia mode di Jepang kini lebih kompleks, dengan generasi muda yang memilih perpaduan antara keindividualan, berbelanja barang bekas, dan kesederhanaan. Toko barang bekas semakin populer, memungkinkan konsumen menemukan barang berkualitas dengan harga terjangkau, mengurangi kebutuhan akan fast fashion. Selain itu, mode Jepang kini mengutamakan pendekatan yang lebih pribadi, dengan penekanan pada pemahaman bentuk tubuh dan pemilihan warna berdasarkan rona kulit seseorang.
Berbeda dengan mentalitas tren yang sering terlihat di Barat, budaya mode Tokyo telah lama mengadopsi kemewahan yang tenang dan keberlanjutan. Desainer lokal seperti Auralee dan Stein memimpin jalan dengan desain yang sederhana dan berkualitas tinggi yang mencerminkan permintaan yang berkembang untuk keterampilan dan keaslian. Fokus pada kualitas di atas kuantitas ini tertanam dalam DNA budaya Jepang, di mana konsep “mottainai” — tidak membuang atau menyia-nyiakan barang — sangat relevan dengan pilihan mode. Generasi muda kini beralih dari tampilan kekayaan yang mencolok, memilih barang yang sesuai dengan gaya pribadi mereka daripada mengejar tren yang cepat berlalu. Perubahan ini juga terlihat di Tokyo Fashion Week, di mana tidak adanya budaya influencer memungkinkan fokus tetap pada pakaian itu sendiri, menyoroti visi kreatif desainer daripada dukungan selebriti. Meskipun ada tantangan seperti penurunan ekonomi pasca-Covid, dunia mode Tokyo terus berkembang, menawarkan keseimbangan unik antara tradisi dan inovasi.